Jumat, 19 Desember 2014

Korupsi Dalam Perspektif Agama Buddha



KORUPSI DALAM PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA
Oleh : Agung Riyanto
Pendahuluan
Korupsi merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatinan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan konsep pemerintahan totaliter, diktator yang meletakkan kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam sistem sosial-politik yang demokratis tidak ada korupsi, bahkan bisa lebih parah praktek korupsinya. Korupsi selalu menyebabkan situasi sosial-ekonomi tak pasti (uncertenly). Ketidak pastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peluang bisnis yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis.
Korupsi merupakan permasalah mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, tergambar adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana maksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Jadi perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Peraturan perundang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat oleh pemerintah, menjadi meaning less, apabila tidak dibarengi dengan kesungguhan untuk manifestasi dari peraturan perundang-undangan yang ada. Politik hukum tidak cukup, apabila tidak ada recovery terhadap para eksekutor atau para pelaku hukum. Konstelasi seperti ini mempertegas alasan dari politik hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak lebih hanya sekedar memenuhi meanstream yang sedang terjadi.
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah ditemukan diberbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama dibandingkan kepentingan umum. Biro pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama. Bagaimana korupsi dalam perspektif agama Buddha ? dan apa yang menyebabkan seseorang korupsi dalam agama Buddha.
Pembahasan
Korupsi
Pengertian Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok).[1]
Menurut Prof. Subekti, korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian  negara .[2]
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
  1. perbuatan melawan hukum;
  2.  penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
  3. memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
  4. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
• penyuapan
Penyuapan dapat didefinisikan sebagai perbuatan atau tindakan dari satu pihak yang memberikan keuntungan kepada pihak lain agar tujuannya tercapai.
• penggelapan
Penggelapan dapat berarti mencuri atau mengambil sumber daya publik secara ilegal yang dilakukan oleh personel yang ditugasi dan diberi wewenang untuk mengendalikan sumber daya tersebut.
Pandangan Agama Buddha Terhadap Korupsi
Agama merupakan salah satu hal yang sangat berhubungan erat dengan kasus korupsi, karena agama merupakan dasar dari segala kepercayaan dan keyakinan tiap individu. Dalam semua ajaran agama, tidak ada yang mengajarkan umatnya untuk berlaku atau melakukan tindakan korupsi. Namun pada kenyataannya, praktek korupsi sudah menjadi kegiatan yang tidak asing, dan secara sadar atau tidak, terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, terutama kehidupan sehari-hari.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara (perusahaan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Jadi pembahasan topik korupsi didasari dengan definisi menurut KBBI. Dalam agama Buddha dasar seseorang melakukan korupsi adalah keserakahan (lobha) dan berakar pada kebodohan-batin (moha). Jika seseorang memiliki pandangan yang benar, niscaya ia tidak akan bertindak bodoh. Ia akan menyadari bahwa segala sesuatu itu, baik itu materi maupun non-materi adalah tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicca). Walaupun bersumber pada diri sendiri, lingkungan juga mempunyai andil yang sangat besar dalam pembentukan karakteristik seorang manusia. Lingkungan yang buruk banyaknya korupsi akan menarik jatuh seseorang ke jurang kejahatan jikalau ia tidak memiliki kebijaksanaan (panna atau prajna). Lingkungan buruk yang dimaksudkan di sini terutama ditekankan pada pergaulan dengan teman-teman yang kurang baik dalam hal ini korupsi yang mungkin saja bisa memengaruhi seseorang menjadi buruk juga, walaupun pada akhirnya kembali kepada dirinya sendiri.
Salah satu Aturan-moralitas Buddhis (sila) dalam Lima Aturan moralitas Buddhis (pancasila) yang perlu dihindari oleh umat Buddha adalah menahan diri dari mengambil barang-barang yang tidak diberikan pemiliknya. Mengambil barang-barang yang tidak diberikan pemiliknya termasuk antara lain: mencuri, merampok, atau pun korupsi. Korupsi bisa dikatakan melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke dua Lima Aturan-moralitas Buddhis (pancasila), dikarenakan memenuhi syarat-syarat pelanggaran sila ke-2, adanya subjek (pelaku), keinginan mencuri, objek (Negara, perusahaan, masyarakat, dsb) dan kejadian nyata perpindahan kepemilikan (hasil yang diambil).
Korupsi termasuk melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke duamengambil barang yang tidak diberikan pemiliknya dan akan mengkondisikan seseorang melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-4 buddhis (menahan diri dari ucapan yang tidak benar atau berbohong) dikarenakan ketika seseorang melakukan korupsi, ia telah ‘mencuri’ dan akan mengondisikannya berbohong untuk menyembunyikan perbuatannya. Jadi korupsi bisa membuat seseorang melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-2 dan Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-4 dari Lima Aturan-moralitas Buddhis (panca-sila). Sehingga menurut Buddhisme, korupsi merupakan sesuatu yang sebaiknya tidak dilakukan karena telah melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) .
Sang Buddha menjelaskan dalam Majjhima Nikaya 117, bahwa mata pencaharian akan menjadi tidak benar ketika mata pencahariannya dimanfaatkan untuk:
  1. Menipu(kuhana),
  2. Membual(lapana),
  3. Memeras(nemittakata),
  4. Menggelapkan (nippesikata),
  5. Merampok agar mendapat hasil yang banyak (labha).[3]
Di dalam sutta (ucapan Sang Buddha) tersebut Sang Buddha menjelaskan bahwasanya cara-cara kita dalam mencari kekayaan tidak boleh seperti itu. Korupsi bisa dikatakan telah memenuhi kelima hal tersebut di atas, sehingga perbuatan yang dilakukannya tersebut bisa jadi akan mencemarkan profesi yang ditekuninya dan mungkin berakibat ketidakpercayaan orang-orang terhadap profesi tersebut.

Penutup
Dari pembahasan tentang korupsi diatas kami dapat mengambil kesimpulan bahwa korupsi merupakan perilaku yang buruk yang tidak legal dan tidak wajar untuk memperkaya diri dan mengesampingkan kepentingan umum. Serta dalam pandangan agama Buddha korupsi tidak diperbolehkan karena korupsi berlandaskan dari keserakahan (lobha) dan berakar pada kebodohan-batin (moha). Jika seseorang memiliki pandangan yang benar, niscaya ia tidak akan bertindak bodoh. Ia akan menyadari bahwa segala sesuatu itu, baik itu materi maupun non-materi adalah tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicca). Dalam Agama Buddha korupsi juga  termasuk melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke dua yaitu mengambil barang yang tidak diberikan pemiliknya dan akan mengkondisikan seseorang melanggar Aturan moralitas Buddhis (sila) ke-4 buddhis (menahan diri dari ucapan yang tidak benar atau berbohong)
Karena ketika seseorang melakukan korupsi, ia telah ‘mencuri’ dan akan mengondisikannya berbohong untuk menyembunyikan perbuatannya. Jadi korupsi bisa membuat seseorang melanggar Aturan moralitas Buddhis (sila) ke-2 dan Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-4 dari Lima Aturan-moralitas Buddhis (panca-sila). Sehingga menurut Buddhisme, korupsi merupakan sesuatu yang sebaiknya tidak dilakukan karena telah melanggar Aturan moralitas Buddhis (sila) .


 Daftar Pustaka
http://definisipengertian.com/2011/pengertian-korupsi/ (20:08, 18 November 2014)
Kitab Suci Agama Buddha. Majjhima Nikaya. Syair 117
Muzadi, H,1978.Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Bandung:Sinar Baru





[1] http://definisipengertian.com/2011/pengertian-korupsi/ (20:08, 18 November 2014)
[2] Muzadi, H,Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,(Bandung,Sinar Baru:1978). hal 2
[3] Kitab Suci Agama Buddha,Majjhima Nikaya. Syair 117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar